Selasa, 03 November 2009

aswaja

'AMALIYAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH


OLEH :

M. AGUS HIMAWAN

Untuk kalangan sendiri

SMA AL-MUAYYAD

JL.KH.SAMANHUDI 64 TELP. 0271 720146

SEJARAH ASWAJA

A. Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis

Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.

Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.

Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW.

Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.

Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.

Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid b Muawiyah.

Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.

Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.

Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.

Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.

Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.

Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.

Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Mâ ana Alaihi wa Ashâby," jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.

Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.

Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.

B. Aswaja sebagai Mazhab

Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.

Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?

Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.

Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya.

Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.

C. Aswaja sebagai Manhaj

Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh.

Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.

Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.

Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p]
Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak. M. Nasrudin

Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.

LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.

Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.

Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah ).

Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.

Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.

Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.

Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.

NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.

Ajaran Aswaja

Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran dari agama Islam itu terdiri dari tiga macam, yaitu:

  • Ajaran tentang Islam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki nafsu (homo animale).
  • Ajaran tentang Imam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki akal fikiran (homo rationale).
  • Ajaran tentang Ihsan, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki budi pekerti, atau hati nurani, atau sarirah, atau 'ainul bashirah (homo somatica)

Ketiga ajaran agama Islam tersebut, yaitu: Imam, Islam dan Ihsan, disebut sebagai Risalah Islamiyah atau Fithrah Munazzalah. Sedang ketiga unsur jiwa manusia tersebut, yaitu: nafsu, akal fikiran dan hati nurani, disebut sebagai Fithrah Mukhallaqah.

Faham atau aliran Aswaja, dalam bidang:

  • Keimanan, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari, atau Imam Abu Mansur Al Maturidi.
  • Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali.
  • Akhlaq/tasawwuf, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghozali serta orang-orang yang sefaham dengan kedua beliau.

Tujuan utama dari Risalah Islamiyah itu adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh ketiga ajaran agama Islam. Untuk itu setiap muslim dituntut untuk melakukan peningkatan dalam ketiga bidang ajaran agama Islam tersebut, baik dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitas.

Peningkatan imam dari segi kwantitas, ialah dengan jalan mengamalkan cabang-cabang sebanyak 77 cabang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh para ahli hadits sebagai berikut:

اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَاَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ . رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ .

Iman itu tujuh puluh tujuh cabangnya. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan kalimah "Laa ilaaha illallaah" dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Dan malu berbuat maksiat adalah salah satu cabang dari iman. (H.R. para ahli hadits)

Ketujuh puluh tujuh cabang iman tersebut dituturkan oleh Syeikh Zainuddin bin Ali dalam kitab Syu'abul Iman sebagai berikut:

  1. Beriman kepada Allah.
  2. Beriman kepada para malaikat.
  3. Beriman kepada kitab-kitab Allah.
  4. Beriman kepada para nabi.
  5. Beriman kepada hari kiamat.
  6. Beriman kepada kepada kebangkitan orang yang sudah mati.
  7. Beriman kepada qadar.
  8. Beriman bahwa para makhluk semuanya sesudah dibangkitkan dari kubur, akan digiring ke padang mahsyar, yaitu tempat pemberhentian mereka di hari kiamat.
  9. Beriman bahwa sesungguhnya surga itu adalah tempat tinggal yang kekal bagi orang muslim.
  10. Mencintai Allah ta'ala.
  11. Takut kepada siksa Allah.
  12. Mengharap rahmat Allah ta'ala.
  13. Tawakkal.
  14. Mencintai Nabi Muhammad saw.
  15. Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw.
  16. Bakhil dengan agama Islam.
  17. Mencari ilmu;
  18. Menyebarkan ilmu agama Islam.
  19. Mengagungkan dan menghormati Al Qur'an.
  20. Bersuci.
  21. Menunaikan shalat lima waktu dengan sempurna.
  22. Memberikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan niat yang khusus.
  23. Berpuasa pada bulan Ramadlan.
  24. I'tikaf.
  25. Menunaikan ibadah haji.
  26. Berjuang membela agama.
  27. Mempertahankan garis demarkasi.
  28. Tetap dalam memerangi musuh dan tidak lari dari medan pertempuran.
  29. Memberikan seperlima dari harta rampasan perang.
  30. Memerdekakan budak yang mu'min.
  31. Membayar kafarat.
  32. Memenuhi janji.
  33. Bersyukur.
  34. Menjaga lidah dari omongan yang tidak pantas.
  35. Menjaga kemaluan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.
  36. Menunaikan amanat kepada yang berhak.
  37. Meninggalkan membunuh orang muslim.
  38. Menjaga diri dari makanan dan minuman yang diharamkan.
  39. Menjaga diri dari harta yang haram.
  40. Menjaga diri dari pakaian, perhiasan dan tempat (bejana) yang diharamkan.
  41. Menjaga diri dari permaianan-permainan yang dilarang.
  42. Sederhana dalam membelanjakan harta.
  43. Meninggalkan dendam dan hasud.
  44. Melarang mencela orang-orang muslim, baik di hadapan mereka atau tidak.
  45. Ikhlas dalam beramal karena Allah ta'ala.
  46. Senang sebab ta'at, susah sebab kehilangan ta'at dan menyesal sebab maksiat.
  47. Bertaubat.
  48. Menyembelih kurban, aqiqah dan hadiah.
  49. Ta'at kepada ulil amri, mengenai perintah mereka yang berjalan menurut kaidah-kaidah syara', demikian pula ta'at kepada larangan mereka yang sesuai dengan kaidah-kaidah syara'.
  50. Berpegang teguh pada apa yang telah disepakati jama'ah.
  51. Menghukumi manusia dengan adil.
  52. Menyuruh perkara yang telah diketahui kebaikannya dan melarang parkara yang mungkar.
  53. Saling membantu dalam kebajikan dan ketaqwaan.
  54. Malu kepada Allah.
  55. Berbuat baik kepada kedua orang tua.
  56. Silatur rahim.
  57. Berbudi pekerti yang baik.
  58. Berbuat baik kepada budak belian.
  59. Ketaatan budak kepada majikannya.
  60. Menjaga hak isteri dan anak-anak.
  61. Menyintai ahli agama.
  62. Menjawab salam dari orang-orang muslim.
  63. Mengunjungi orang yang sakit.
  64. Menyalati mmayit yang muslim.
  65. Membacakan "tasymit" kepada orang yang bersin yang membaca "hamdalah".
  66. Menjauhi setiap orang yang berbuat kerusakan.
  67. Memuliakan tetangga.
  68. Memuliakan tamu.
  69. Menutupi cacat orang-orang muslim.
  70. Sabar dalam menjalankan keta'atan sehingga dapat melaksanakannya.
  71. Zuhud.
  72. Cemburu dan tidak membiarkan isterinya bercumbu rayu dengan laki-laki lain.
  73. Berpaling dari omongan yang tidak berguna.
  74. Dermawan.
  75. Menghormati orang tua dan menyayangi anak muda.
  76. Mendamaikan pertikaian yang ada di antara orang-orang muslim.
  77. Mencintai untuk orang lain apa saja yang dicintai untuk dirinya sendiri.

Sedang meningkatkan kwalitas iman, adalah berusaha meningkatkan iman dari 'ilmul yaqin, menjadi 'ainul yaqin dan terakhir menjadi haqqul yaqin.

Meningkatkan amal Islam dari segi kwantitas harus dilakukan dengan jalan mem-perbanyak jumlah amal ibadah yang dikerjakan dan berusaha untuk menjalankannya dengan istiqamah. Sedang meningkatkan amal Islam dari segi kwalitas harus dilakukan dengan jalan melakukan amal ibadah karena takut kepada siksa Allah, menjadi karena mengharapkan sorga Allah, dan terakhir karena semata-mata ingin mendekat-kan diri kepada Allah.

Meningkatkan amal Ihsan dari segi kwantitas, harus dilakukana dengan jalan mem-bersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tersela yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10, kemudian menghiasi hatinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10.

Ø Sepuluh induk akhlak tercela:

  1. Tamak terhadap makanan
  2. Tamak kepada omongan
  3. Suka marah
  4. Hasud
  5. Bakhil dan senang harta
  6. Ambisi dan gila hormat
  7. Senang dunia
  8. Ujub atau membanggakan diri
  9. Takabur
  10. Riya' atau mencari simpati dari selain Allah dengan amal ibadah

Ø Sepuluh induk akhlak terpuji:

  1. Bertaubat
  2. Khauf dan raja'
  3. Zuhud
  4. Sabar
  5. Syukur
  6. Ikhlas dan jujur
  7. Tawakkal
  8. Cinta kepada Allah
  9. Rela kepada ketentuan Allah
  10. Selalu mengingat mati dan hakekatnya
    Sedang meningkatkan amal Ihsan dari segi kualitas adalah berusaha meningkatkan diri dari tingkat orang awam menjadi orang shalih. Dari tingkat orang shalih menjadi orang yang bertaqwa. Dari orang yang bertaqwa menjadi orang yang mencintai Allah. Dari orang yang mencintai Allah menjadi ahli ma'rifat. (Sumber : H. Achmad Masduqi Machfudh
    Malang)

25 September 2007

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU

Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. (12


KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).(14


Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. (15

Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana. (16

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.

Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian.

Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17

Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.

Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi).

Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.

Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.

Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19 Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf. (21

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah. (22

Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23

Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!”

Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.

Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, :

pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.

Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.

Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.

Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

footnote :

12) Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3-4

13)Lihat “al-Qânûn al-Asâsiy” KH. Hasyim Asy’ari, Ahlussunnah wal Jama’ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
14) Ibid., hlm. 16
15) Ibid., hlm. 2
16) Ibid., hlm. 8

17) Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3

18)KH. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999, hlm. 39-41. Lihat pula KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 20.

19) HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljama’ah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hlm 3.

20) KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljama’ah, Pengertian dan Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 86-87.

21) A. Wahid Zaini, op.cit., hlm. 51

22) KH. A. Muchith Muzadi, op. cit., hlm. 29

23) KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm 4.

=============

by arland

from PBNU


Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.


AMALIYAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

KELAS II IPA-IPS

MATERI I (Masa'ilus sholawat)

1. Membaca Usholli sebelum sholat

2. Dua versi Do'a iftitah

3. Membaca Basmalah jahr dalam Al-fatihah

4. Membaca do'a qunut shubuh

5. Membaca do'a tahiyyat yang benar

6. Menambah Sayyidina dalam sholawat ketika tahiyyat

7. Memabaca salam dengan menambah wabarokatuh

MATERI II (lain-lain)

1. meluruskan shoff solat

2. cara sujud

3. mengeraskan dzikir dan do'a setelah sholat

4. dua adzan dalam sholat jum'ah

5. Membaca ma'syirol mu'minin

6. Membaca do'a antara dua khutbah

7. Membawa tongkat dalam khutbah

KELAS III IPA-IPS

MATERI III (Masa'ilul 'aqoid)

1. Dalil Tahlilan

  1. Dasar hukum lafadz-lafadz tahlil
  2. Dasar hukum tahlilan berjama'ah
  3. Dasar hukum peringatan 1-7 hari, 40 hari 100 hari, setahun (haul)

2. Dalil membaca sholawat

3. Dalil macam-macam sholawat yang kita kenal (sholawat nariyah, munjiyat, fatih, dll)

4. Dalil membaca Maulid al-Barzanji, simtud Duror dll

5. Dalil Membaca manaqiban (Asysyekh Abdul Qodir l-Jaelni, Asyekh Abil Hasan "Aly sy-Syadzili, dll)

MATERI IV

6. Dalil Ziyaroh (makam orang tua, 'ulama, wali songo dll)

7. Dalil Tawassul

8. Dalil Tabarruk

MATERI I (Masa'ilus sholawat)

  1. Membaca Usholli sebelum sholat
  2. Dua versi Do'a iftitah
  3. Membaca Basmalah jahr dalam Al-fatihah
  4. Membaca do'a qunut shubuh
  5. Membaca do'a tahiyyat yang benar
  6. Menambah Sayyidina dalam sholawat ketika tahiyyat
  7. Memabaca salam dengan menambah wabarokatuh
  8. Memutar jari ketika tahiyyat


1. MELAFALKAN NIAT SOLAT DENGAN USHOLLI

Orang yang melafalkan niat dalam berbagai amal mereka,itu semua dilakukan dalam rangka membiasakan lidah untuk mengucapkan sesuatu yang baik. Selain itu apa yang dilakukan oleh mereka itu menurut para ulama’ Syafi’iyah adalah termasuk disunnahkan karena untuk menuntun hati agar antara lidah dengan hati bisa lebih siap untuk mengkhusyukkan sholat.
Imam Ramli mengatakan:

“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)

Sebenarnya lagi tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).

Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Hadis tentang pentingnya niat :

· انما الاعمال با لنيات

· نية المؤ من خير من عمله

2. BERDIRI RAKAAT PERTAMA (DO'A IFTITAH)

Rasulullah saw membuka bacaan solat dengan doa-doa yang banyak dan bermacam-macam, yang di dalamnya beliau memuja dan memuji Allah atau dinamakan Do’a Iftittah ringkasnya doa yg dibaca setiap mengawali sholat Dan hal ini diperintahkan kepada orang yang shalatnya tidak betul. Beliau benabda kepadanya :

لاَ تُتِمّ صَلاَةٌلإحٍَ مِنَ النَّسِ حَتَّى يُكَبِِّرَ وَ يَحْمَدَ اللّهَ جَلَّ وَ عَزَّ وَ يُثْنِيْ عَلَيْهِ , وَ يَقْرَأَبِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْانِ

"Tidaklah sempurna shalat seseorang di antara manusia sehingga ia bertakbir, memuji Allah dan memuja-Nya membaca apa yang mudah baginya dari ayat-ayat Al-Qur'an …” (HR Abu Dawud dan al Hakim, dishahihkan dan disepakati oleh adz Dzahabi)

Ada beberapa bacaan Do’a Iftitah yang telah diriwayatkan dalam hadis yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw. Beliau saw terkadang membaca do’a yang satu dan terkadang yang lainnya. Do’a – do’a tersebut ialah : salah satu contoh adalah :

اللهم با عد بيني وبين خطا ياي كما با عدت بين المشرق والمغرب اللهم نقني من خطا ياي كما ينقي الثوب الابيض من الدنس . اللهم اغسلني من خطا ياي با الثلح والماء والبرد.

Allahumma ba'id baini wa baina khathayaya , kama ba'adta bainal masyriqi wa maghribi. Allahumma naqqini min khathayaya kama yunaqqats tsaubul abyadhu minad danasi. Allahumma aghsilni min khathayaya bitstsalji wal ma-i wal baradi ,

"Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahan - kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku, sebagaimana kain putih dibersihkan dari noda. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, dengan salju dan embun."

hadits Riwayat Muslim , dari Abu Hurairah r.a. , dalam buku Terjemah Hadits SHAHIH MUSLIM , yang disusun oleh Imam Muslim bin Hajjal Al Qusyairy an Nisabury , diterjemahkan oleh Ma'mur Daud , diterbitkan oleh Penerbit Wijaya Jakarta tahun 1983 , nomor hadits 554 , jilid I , halaman 295 ).

Kedua :

وجهت وحهي للذي فطر السموات والارض حنيفامسلما وما انا من المشركين. ان صلا تي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العا لمين. لا شريك له وبذالك امرت وانا اول المسلمين

"Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, kuserahkan kepada Allah Tuhan semesta Alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahhan kepadaku. Dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri . . (HR Muslim, Abu `Uwanah, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban, Ahmad, Syafi'i, Thabrani.

Selain hadis diatas banyak keterangan tentang lafadz-lafadz do’a iftitah, diantaranya dalam kitab bidayatul hidayah dan ihya’ ulumuddin karangan Imam Ghozali \melengkapinya dengan kalimat dibawah ini sebelum hadis kedua diatas.

الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحا ن الله بكرة واصيلا

Kemudian mengganti وانا اول المسلمين dengan وانا من المسلمين karena وانا من المسلمين

yang dimaksud adalah Rasulullah SAW, sedangakan orang Islam semua bukanlah orang yang awal islamnya tapi tergolong orang yang Islam dan untuk membandingkan dengan lafadz وما انا من المشركين

3. BACAAN BASMALAH DALAM SURAT AL-FATIHAH YANG DIBACA KETIKA MENGERJAKAN SHALAT

Pendapat Para Ulama tentang Bacaan Basmalah dalam Shalat

Para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan basmalah dalam shalat:

1. Imam Malik melarang membacanya dalam shalat fardlu, baik secara jahr (keras) maupun secara sirr (lembut), baik dalam membuka Al-Fatihah maupun dalam surat lainnya, tetapi beliau membolehkan membacanya dalam shalat nafilah (sunnah)

2. Imam Abu Hanifah mengharuskan membacanya ketika membaca Al-Fatihah dalam shalat secara sirr (lembut) pada setiap rakaat, dan lebih baik membacanya ketika membaca setiap surat.

3. Imam asy-Syafiëi berpendapat wajib membacanya dalam shalat secara jahr (keras) dalam shalat jahr, tetapi dalam shalat sirr wajib dibaca dengan sirr.

4. Imam Ahmad ibnu Hanbal berpendapat harus membacanya dengan sirr dalam shalat dan tidak mensunnahkan membacanya dengan jahr.

Sumber perbedaan pendapat tersebut adalah karena perbedaan pendapat mengenai status basmalah, apakah ia termasuk surat Al-Fatihah, dan termasuk permulaan tiap-tiap surat atau tidak. Secara ringkas, perbedaan pendapat tersebut dapat kami uraikan sebagai berikut:

1. Asy-Syafiëiyyah berpendapat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat Al-Fatihah dan merupakan awal dari setiap surat dalam al-Qurían.

2. Al-Malikiyyah berpendapat, bahwa basmalah bukan merupakan ayat, baik dari surat Al-Fatihah maupun dari al-Qurían.

3. Al-Hanafiyyah mengambil jalan tengah, antara asy-Syafiëiyyah dan al-Malikiyyah. Mereka berpendapat, bahwa penulisan basmalah dalam al-Mushhaf menunjukkan bahwa basmalah adalah ayat al-Qurían, tetapi tidak menunjukkan bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari tiap-tiap surat. Hadits-Hadits yang memberitakan bahwa basmalah tidak dibaca dengan keras dalam shalat ketika membaca Al-Fatihah menunjukkan, bahwa basmalah bukan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, tetapi mereka menetapkan bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari al-Qurían, yang diturunkan sebagai pembatas antara satu surat dengan surat lainnya, sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui batas-batas surat sebelum diturunkan ëBismillahir-Rahmanir-Rahimí.

boleh membaca basmalah secara jahr dan boleh juga secara sirr dalam shalat. Pendapat ini berlandaskan Hadits-Hadits sebagai berikut:

ìDiriwayatkan dari Anas, ia berkata: Saya shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman, tetapi saya tidak mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca: ëBismillahir rahmanir rahimí.î [HR. Muslim].

ìDiriwayatkan dari Abu Hilal, diriwayatkan dari Nuíaim al-Mujammir, ia berkata: Saya shalat dibelakang Abu Hurairah (makmum). Maka beliau membaca ëBismillahir-Rahmanir-Rahimí, kemudian membaca Ummul-Qurían, hingga ketika sampai pada ëGhairil-maghdlubi ëalaihim waladl-dlaalliiní beliau membaca ëAmiiní. Kemudian, orang-orang yang bermakmum membaca ëAmiiní. Dan setiap bersujud beliau membaca ëAllahu Akbarí dan apabila berdiri dari duduk dalam dua rakaat, beliau membaca ëAllahu Akbarí, dan apabila membaca salam (sesudah selesai), beliau berkata: Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya orang yang paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah saw.î [HR. an-Nasaíi

ìDiriwayatkan dari Qatadah, diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Saya shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman ra, tetapi saya tidak mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca ëBismillahir rahmanir rahimí dengan keras.î [HR. an-Nasaíi]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu membaca al-hamdu lillah (surat Al-Fatihah), maka bacalah ëBismillahir rahmanir rahimí, sebab surat Al-Fatihah adalah Ummul-Qurían dan Ummul-Kitab dan Sabíul-Matsani, adapun basmalah adalah salah satu ayat dari surat Al-Fatihah [HR. ad-Daruquthni]

اذا قرأتم الحمد فا قرءؤا بسم الله الرحمن الرحيم انها ام القران وام الكتا ب والسبع المثاني و بسم الله الرحمن الرحيم اية منهل ار قال هي احدي اايتها ( رواه الدار قطني )

ìDiriwayatkan dari Anas ra, bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah saw (surat Al-Fatihah), maka Anas menjawab: Bacaannya secara madd (panjang). Lalu ia membaca ëBismillahir rahmanir rahim, Al-Hamdu Lillahi Rabbil ëAlamin, ar-Rahmanir-Rahim, Maliki Yaumid-din, [Ditakhrijkan oleh al-Bukhari dari Anas, ad-Daruquthni mengatakan: Sanadnya shahih]

Penjelasan

1. Hadits pertama, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas, menceritakan bahwa Anas tidak mendengar bacaan basmalah dari Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka tidak membaca basmalah sama sekali, sebab kemungkinan mereka membacanya secara sirr, tidak jahr (keras). Sebab dalam riwayat lainnya, yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasaíi, dan Ibnu Khuzaimah, juga dari Anas, menyatakan:

Ini menunjukkan bahwa mafhumnya adalah mereka membacanya secara sirr, Hadits yang ditakhrijkan oleh Muslim tersebut menurut para ulama adalah Hadits yang berderajat shahih.

2. Hadits kedua, yang diriwayatkan oleh an-Nasaíi dari Nuíaim al-Mujammir, menyatakan bahwa ketika ia shalat di belakang Abu Hurairah (makmum), beliau membaca ëBismillahir rahmanir rahimí. Kemudian setelah selesai shalat beliau berkata: Saya adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan shalat Nabi saw. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw membaca basmalah dengan jahr ketika mengerjakan shalat. Perlu diketahui bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang dekat sekali kepada Nabi saw, dan tidak diragukan kejujuran, kepercayaan, ingatan serta kecerdasannya. Maka tidaklah mungkin beliau berdusta. Ash-Shanëani menyatakan, bahwa Hadits tersebut adalah Hadits yang paling shahih dalam masalah basmalah (ash-Shanëani, 1961, I: 173).

3. Hadits ketiga, yang diriwayatkan oleh an-Nasaíi dari Anas menyatakan, bahwa Anas tidak mendengar Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman mengeraskan suaranya dalam membaca ëBismillahir rahmanir rahimí. Dari Hadits tersebut dapat diambil pengertian (mafhum), bahwa Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman membaca basmalah dengan sirr. Menurut para ahli Hadits, Hadits tersebut termasuk Hadits shahih (ash-Shanëani, 1961, I: 173).

4. Hadits keempat, yang ditakhrijkan oleh ad-Daruquthni dari Abu Hurairah, menyatakan bahwa Nabi saw pernah memerintahkan kepada para sahabat untuk membaca basmalah apabila membaca Al-Fatihah, sebab basmalah adalah salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, dan menurut ad-Daruquthni Hadits tersebut adalah shahih.

5. Hadits kelima, yang ditakhrijkan oleh al-Bukhari dari Anas, menyatakan bahwa Rasulullah saw membaca basmalah apabila membaca surat Al-Fatihah. Menurut ad-Daruquthni, sanad Hadits tersebut adalah shahih.

Menurut para ahli Hadits, kelima Hadits tersebut adalah shahih dan tidak dapat diketahui mana di antara Hadits-Hadits tersebut yang datang lebih dahulu, sehingga tidak dapat ditetapkan mana yang nasikh (yang menghapus) dan mana yang mansukh (yang dihapus). Justru Hadits-Hadits tersebut dapat dikompromikan dan dapat diamalkan semuanya. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa Rasulullah saw kadang-kadang membaca basmalah secara jahr dan kadang-kadang membacanya secara sirr. Kami tegaskan kembali bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari ayat-ayat surat Al-Fatihah, dibaca secara jahr dalam sholat jahr dan dibaca secara sirr dalam shalat sirri,. lebih baik dibaca jahr dalam rangka menghindari dugaan dari makmum bahwa imam tidak baca basmalahyan menyebabkan sholatnua tidak sah.

4. DOA QUNUT.

Banyak penceramah bilang bahwa doa qunut adalah sunnah hukumnya, namun mengapa sebagian besar masyarakat kita selalu membaca qunut waktu sholat subuh, atau melakukan sujud sahwi bila lupa, bahkan ada yg beranggapan bahwa tidak syah sholat subuh bila tanpa qunut. Yg jadi pertanyaan saya:

  1. Apakah Rasulullah selalu membaca doa qunut pada setiap shalat subuh?
  2. Bagaimana Riwayat Doa Qunut ini?


Sebagian besar muslimin di Indonesia melakukan doa Qunut pada salat Subuh itu karena mayoritas mereka bermadzhab Syafi'iyah yang mensunatkan Qunut pada salat Subuh. Padahal ada madzhab-madzhab lain yang menyatakan Qunut tak disunahkan pada salat Subuh.

Perbedaan pendapat seputar pelaksanaan qunut ini bermula dari penggunaan sumber/dalil yangberbeda.

Madzhab-madzhab yang menyatakan bahwa qunut hanya dilakukan pada salat Witir (Hanafiyah dan Hanbaliyah) mendasarkannya pada riwayat Ibnu Mas'ud ra., "Bahwasanya Nabi SAW pernah melakukan qunut salat Subuh selama sebulan, tetapi kemudianditinggalkannya."

Sedangkan Syafi'iyah dan Malikiyah menggunakan dalil dari Sahabat Anas bin Malik: "Rasulullah selalu melakukan qunut, sampai beliau meninggal dunia."

ما زال رسول الله يقنت في الصبح حتي فا رق الدنيا (رواه احمد وغيره)

Kesimpulannya, keputusan terserah masing-masing. Untuk memakai qunut atau tidak tinggal kemantapannya, dan siapa yang diikutinya (bagi yang masih taklid). Tidak perlu menyalah-nyalahkan orang lain. Karena sebenarnyalah qunut itu hukumnya sunah. Mau memakai qunut boleh, meninggalkannya pun boleh. Apalagi pelaksanaannya pun tidak sama, ada yang mengatakan khusus untuk salat Subuh, ada pula yang Witir. Ada yang sebelum ruku' ada pula yang setelah ruku'. Semuanya mempunya dalil tersendiri.

Dalam bahasa Arab, qunut semula bisa berarti: tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian digunakan untuk berdoa tertentu di dalam shalat.
Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut dalam berbagai keadaan dan cara (seperti banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang qunut ini). Pernah Nabi berqunut pada setiap lima waktu, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetakan, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi qunut muthlaq, tanpa sebab khusus.

Pendapat ulama pun berbeda-beda mengenai qunut dan muthlaq ini (seperti lazimnya, sesuai interpretasi dan pilihan menurut sandar kesahihan masing-masing terhadap hadis-hadis yang ada tentang itu). Ada yang berpendapat qunut muthlaq hanya dilakukan pada waktu shalat Witir sebelum rukuk (Hanafi) atau sesudah rukuk (Hanbali). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu hanya disunnahkan pada waktu shalat Subuh sebelum ruku kedua (Maliki). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu dilakukan waktu shalat Subuh dan shalat Witir pertengahan terakhir bulan Ramadlan setelah rukuk terakhir (Syafi'i). Untuk lebih luasnya, silahkan membaca Ibanat al-Ahkaam I/428-433; al-Fiqhu 'alaa al-Madzhaahib al-Arba'ah I/336-340; dan Bidayat al-Mujtahid I/131-133).
Tambahan :
1. Seperti sudah disinggung di atas, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah Saw. atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Quraa (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan oal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah samapi di suatu tempat yang bernama Bi'r al-Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut. Mendengar itu Rasulullah Saw. berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah. Jika Anda biasa melakukan qunut Subuh atau qunut Witir, maka melakukan qunut nazilah ya seperti itu.

2. Menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah rukuk yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam.

3.Jadi, qunut nazilah sama dengan qunut Subuh. Bacaannya juga sama seperti doa yang datang dari Rasulullah Saw. dan populer itu:

Lihat Nailul Author juz II hal. 387

5. MACAM-MACAM BACAAN TAHIYYAT

Sikap duduk pada tahiyyat pertama (Tawarruk, keadaannya sama ketika duduk antara dua sujud menduduki kaki kiri, sedang kaki kanan tegak dengan jarijari kaki menghadap kiblat). Lain dengan sikap duduk pada tahiyyat kedua atau tahiyyat akhir (ifti-rasy, kaki kanan ditegakkan dengan jari-jari kaki menghadap ke arah kiblat).

Versi satu :

At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu waththayibaatu

Assalaamu'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh

Assalaamu'alainaa wa'ala ibaadillahis shaalihiin

Asyhadu anlaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluh

Contoh di atas adalah praktek solat subuh 2 rakaat. Bila Anda solat Maghrib 3 rakaat, maka bacaan tahiyyat pertama rakaat kedua cukup samapai pada "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad" dan akhir rakaat ketiga bacaan tahiyyat dibaca dengan sempurna samapi "hamiidun majiid". Setelah itu memberi salam.

Bila anda solat 4 rakaat, yaitu Zohur, Ashar, atau Isya, maka akhir rakaat kedua persis sama dengan akhir rakaat kedua solat Maghrib. Pada akhir rakaat ketiga, tak ada tahiyyat, dan pada akhir rakaat keempat barulah anda sempurnakan bacaan tahiyyat hingga "hamiidun majiid", lalu memberi salam sebagai akhir dari shalat.

Allaahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'alaa aali Muhammadin, kamaa shallaita 'alaa Ibraahim wa'alaa aali Ibrahim, wa baarik 'alaa Muhammadin, kama baarakta 'alaa Ibrahiima wa'alaa aali Ibraahima, fil 'aalamiina innaka hamiidun majiid.

Versi dua :

HR.Muslim dan lainya dari Ibnu "abbas :

التحيات المبا ركا ت الصلوا ت الطيبا ت لله- السلا م عليك ايها النبي ورحمة الله وبركاته ....الخ

At tahiyyaatul mubarokatus sholawatut thoyyibatu lillah

Assalaamu'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh

Assalaamu'alainaa wa'ala ibaadillahis shaalihiin

Asyhadu anlaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluh

Allaahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'alaa aali Muhammadin, kamaa shallaita 'alaa Ibraahim wa'alaa aali Ibrahim, wa baarik 'alaa Muhammadin, kama baarakta 'alaa Ibrahiima wa'alaa aali Ibraahima, fil 'aalamiina innaka hamiidun majiid.

Dikalangan kita banyak yang menambah Sayyidina (dalil lihat No. 6)

SUNAHKAH TAMBAHAN SAYYIDINA DALAM SOLAWAT?

Pada waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka? Rasulullah menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?

Fathul Mu’in hanya menerangkan:

لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّد

Tidak ada bahayanya dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.

Adakah pada saudara dalil yang melarang tambahan sayyidina?

لاَ تَُسَوِّدُنِى فِى الصَّلاَةِ

Bukankah hadits itu melarang membaca sayyidina di dalam sholat?

Di manakah saudara dapat hadits itu? Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu

سَيَّدَ - يُسَيِّدُ

di dalam lughoh tidak atau belum pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu sawwada-yusawwidu.

سَوَّدَ - يُسَوِّدُ

Jadi termasuk fi’il yang wawiyyul ‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid ‘ala wazni Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و) diganti dengan Ya’ (ي) kemudian ya’ awal di-idghomkan pada ya’ tatsniyah, berdasar:

إِنْ يَسْكُنِ السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ وَيَا *
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.

Adapun masdarnya siyadatan itu asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan ya’, seperti qiyam asalnya Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan:

ذَا أَيْضًا رَوَوْا فِي مَصْدَرِ اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا

Lihat al-Khulashoh bab Ibdal. Apakah saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu? Kemudian sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika demikian apakah dasarnya? Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca Sayyidina. Sebab arti harfiahnya (letterlijk) adalah ”Jangan engkau mempertuan aku di dalam sholat”. Kami membaca "sayyidina" itu, tidak kami maksudkan mempertuan, akan tetapi sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai Sayyidu Waladi Adam.

Bukankah kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam bahasa Arab (Jawa) bendoro?

Tidak selamanya kalimat sayyidina itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya: yang mulia, yang terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah ayat 55 surat Yusuf.

وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى اْلبَابِ.

Lihat dalil yang memperkuat alasan menambah sayyidina dalam tahiyyat :

QS. Al-Hujurot 1-2, QS.An-Nur 63

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äytƒ «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÈ $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#þqãèsùös? öNä3s?ºuqô¹r& s-öqsù ÏNöq|¹ ÄcÓÉ<¨Y9$# Ÿwur (#rãygøgrB ¼çms9 ÉAöqs)ø9$$Î/ Ìôgyfx. öNà6ÅÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 br& xÝt7øtrB öNä3è=»yJôãr& óOçFRr&ur Ÿw tbrâßêô±s? ÇËÈ

1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu[1408], sedangkan kamu tidak menyadari.

[1407] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya.

[1408] Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau bicara keras terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi. karena itu terlarang melakukannya dan menyebabkan hapusnya amal perbuatan.

žw (#qè=yèøgrB uä!$tãߊ ÉAqߧ9$# öNà6oY÷t/ Ïä!%tæßx. Nä3ÅÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ 4 ôs% ãNn=÷ètƒ ª!$# šúïÏ%©!$# šcqè=¯=|¡tFtƒ öNä3ZÏB #]Œ#uqÏ9 4 ÍxósuŠù=sù tûïÏ%©!$# tbqàÿÏ9$sƒä ô`tã ÿ¾ÍnÍöDr& br& öNåkz:ŠÅÁè? îpuZ÷FÏù ÷rr& öNåkz:ÅÁムë>#xtã íOŠÏ9r& ÇÏÌÈ

63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

7. MEMUTAR JARI KETIKA TAHIYYAT

Ada yang berpendapat : Ketika membaca tasyahhud (asyhadu..) dalam tahiyyat, telunjuk kanan digerakkan ke atas bagai meyakinkan bahawa Allah itu hanya Esa, benarkah pendapat tersebut ?

Menurut penulis lebih baik tidak menggerakkan jari telunjuk ketika memulai membaca tahiyyat, karena ditakutkan membatalkan sholat karena banyaknya gerakan memutar jari, berdasarkan hadis yang dikutip dalam kitab Kifayatul Akhyar.

Dalam Shalat, ketika kita duduk tasyahud, tepatnya ketika kita membaca “illallah” atau selain Allah, dalam rangkaian bacaan “Asyhadu an la ilaha illallah” atau saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, kita selalu mengangkat jari telunjuk. Adakah dasar hukumnya? Hikmah apa yang dikandung?

Ulama Syafi’iyyah mengajarkan untuk meletakkan kedua tangan di atas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara jari-jari tangan kanan digenggam, kecuali jari telunjuk. Nah ketika membaca “illallah” jari telunjuk tersebut sunnah diangkat, tanpa digerak-gerakkan.

Dalam sebuah hadits Muslim dari Ali bin Abdirrahman al-Muawi dikisahkan bahwa pada suatu saat Ibnu Umar melihat Ali bin Abdirrahman sedang mempermainkan krikil ketika shalat. Setelah selesai shalat Ibnu Umar menegur Ali lalu berkata, “Apabila kamu shalat maka kerjakan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW."

Ibnu Umar lalu berkata:

كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه كلها وأشار بأصبعه التي تلى الإبهام ووضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى


“Apabila Nabi SAW duduk ketika melaksanakan shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan menggenggam semua jemarinya. Kemudian berisyarah dengan (mengangkat) jari telunjuknya (ketika mengucapkan illallah) dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya." (HR Muslim)

Hadits ini yang dijadikan dasar para ulama tentang kesunnahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud atau tahiyat.

Sedangkan hikmah dari anjuran tersebut adalah supaya kita mengesakan Allah SWT. Seluruh anggota tubuh kita mentauhidkan-Nya dengan dipandu jari telunjuk itu.

Syekh Ibnu Rulan dalam kitab Zubad-nya mendendangkan syair: "Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah." (Matn Zubad, 24).

Jadi mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud (tanpa digerak-gerakkan) itu disunnahkan karena merupakan teladan dari nabi SAW. Perbuatan itu dimaksudkan sebagai simbol serta sarana untuk mentauhidkan Allah SWT.

Jadi menurut penulis lebih baik tidak menggerakkan jari telunjuk ketika memulai membaca tahiyyat, karena ditakutkan membatalkan sholat karena banyaknya gerakan memutar jari, berdasarkan hadis yang dikutip dalam kitab Kifayatul Akhyar hlaman 116.



KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Rais Syuriyah PCNU Jembe

8. MEMBERI SALAM

Menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah selesai tahiyyat, anda memberi salam dengan membaca:

Assalaamu 'alaikum warahmatullaah, Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri., berdasarkan hadis dari Jabir bin Samroh RA riwayat Muslim yang terdapat dalam kitab Al-Majmu' lin nawawi halaman 460 atau Al-Adzkar halaman 65), Juga diriwayatkan oleh Ad-Daruqutni, Ibnu Hibban dan lain-lainnya dalamdalam Minhajut tholibin

A. Membaca Dzikir secara umum

1. QS. Al-Ahzab 41-42

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0øŒ$# ©!$# #[ø.ÏŒ #ZŽÏVx. ÇÍÊÈ çnqßsÎm7yur Zotõ3ç/ ¸xϹr&ur ÇÍËÈ

41. Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.

42. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.

2. QS. Ibrohim 24-26

öNs9r& ts? y#øx. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ þÎA÷sè? $ygn=à2é& ¨@ä. ¤ûüÏm ÈbøŒÎ*Î/ $ygÎn/u 3 ÛUÎŽôØour ª!$# tA$sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcrãž2xtGtƒ ÇËÎÈ ã@sVtBur >pyJÎ=x. 7psWÎ7yz >otyft±x. >psVÎ6yz ôM¨VçGô_$# `ÏB É-öqsù ÇÚöF{$# $tB $ygs9 `ÏB 9#ts% ÇËÏÈ

24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik[786] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,

25. Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.

26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk[787] seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.

[786] Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.

[787] Termasuk dalam kalimat yang buruk ialah kalimat kufur, syirik, segala Perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik.

3. Ar- Ro'du 28

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& Ìò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ r-

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

4. QS.An-Nur 34-37

Îû BNqãç/ tbÏŒr& ª!$# br& yìsùöè? tŸ2õãƒur $pkŽÏù ¼çmßJó$# ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $pkŽÏù Íirßäóø9$$Î/ ÉA$|¹Fy$#ur ÇÌÏÈ ×A%y`Í žw öNÍkŽÎgù=è? ×ot»pgÏB Ÿwur ììøt/ `tã Ìø.ÏŒ «!$# ÏQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# Ïä!$tGƒÎ)ur Ío4qx.¨9$# tbqèù$sƒs $YBöqtƒ Ü=¯=s)tGs? ÏmŠÏù ÛUqè=à)ø9$# ã»|Áö/F{$#ur ÇÌÐÈ

36. Bertasbih[1041] kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,

37. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

[1039] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.

[1040] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.

[1041] Yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut.

B. Membaca Al-Qur'an

1.QS. An-Nml 91-92

. !$yJ¯RÎ) ßNöÏBé& ÷br& yç6ôãr& žUu ÍnÉ»yd Íot$ù#t7ø9$# Ï%©!$# $ygtB§ym ¼ã&s!ur @à2 &äóÓx« ( ßNöÏBé&ur ÷br& tbqä.r& z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÒÊÈ ÷br&ur (#uqè=ø?r& tb#uäöà)ø9$# ( Ç`yJsù 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê ö@à)sù !$yJ¯RÎ) O$tRr& z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÒËÈ

91. Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.

92. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan Barangsiapa yang sesat Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan".

2. QS.Al-"ankabut 45

ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ

45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Susunan Bacaan Tahlil
28/07/2009

Tahlil atau tahlilan sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Indonesia, utamanya warga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai penganut paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) sebagai upaya bertawashul kepada Allah SWT untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia atau ahli kubur pada umumnya,

Tahlil secara lughat berarti bacaan لاإله إلاالله (Lailaha illallah) seperti halnya Tasbih berarti bacaan سبحان الله (Subhanallah), Tahmid bacaan الحمد لله (Alhamdulillah) dan lain sebagainya.

Bahasa Arab kebanyakan selain mempunyai arti secara lughowi (bahasa) juga mempunyai arti secara istilahi atau urfi. Tasbih misalnya pengertian secara urfi ialah mengagumi dan mensucikan Allah sang Maha pencipta dari segala kekurangan dan kelemahan, yang direfleksikan dengan bersyukur, rasa takjub dan lain sebagainya yang diiringi dengan mengucapkan Subhanallah.

Demikian pula Tahlil dalam pengertiannya secara urfi atau islitahi ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah

لاإله إلاالله أي لامعبود بحق إلاالله


Artinya: Tiada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, atau tidak ada pengabdian yang tulus kecuali kepada Allah

Kemudian di dalam melaksanakan bentuk pengabdian manusia sebagai hamba kepada Allah SWT, sudah barang tentu tidak cukup hanya dengan menyebut-nyebut asma Allah akan tetapi harus disertai prilaku-prilaku seorang hamba yang mentaati perintah perintah Allah serta menjauhi larangan larangan-Nya, dan perilaku tersebut digambarkan dalam rangkaian bacaan-bacaan pada tahlilan.

Jadi Tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu Tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di Dunia dan di akhirat kelak.

Tahlilan dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ........
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ........
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ......
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ........
9. Surat al-Ahzab ayat 56إن الله وملائكته يصلون على النبي ........
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih

Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih

Makna dari susunan bacaan tahlil di atas insyaallah akan dipaparkan dalam kesempatan berikutnya.

KH M. Irfan Ms
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Amin, Jampes, Kediri

Sebagai contoh dari tradisi muslim yang mulia ini adalah yang sering kita sebut dengan nama TAHLILAN/YASINAN. Majelis yang mulia ini sering kita laksanakan / lakukan ketika ada seorang kerabat / keluarga atau tetangga yang meninggal dunia dengan mengadakan doa bersama untuk orang meninggal tersebut, yana mana biasanya dilakukan pada malam ke 1,2,3, 5 ataupun malam ke 7 atau HAUL yang biasa dilaksanakan setahun sekali.

Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu La ilaha illa Allah”. Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah Thayyibah.

Pada hakikatnya majelis TAHLIL/YASINAN atau HAUL adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara yang di dalam terdapat rangkaian dzikir (membaca Al-Qur’an) dan berdoa serta bermunajat bersama. Majelis ini dapat juga kita simpulkan: Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul Husna, shalawat, mengirim doa bagi arwah yang meninggal dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir lainnya, hanya istilah dan nama atau kemasannya saja yang berbeda dengan zaman salaf terdahulu namun hakikat serta intinya sama, yakni Dzikrullah (berdzikir kepada Allah).

Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa merupakan inti dari ibadah dan dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan oleh seorang mukmin itu adalah doa.

Tahlil adalah tradisi dari generasi salaf dan pada mulanya dikenalkan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam / wali di tanah Jawa) ketika mereka berhijrah ke Indonesia. Seperti yang telah kita keahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo (9 Wali) yang berasal dari Hadramaut - Yaman. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islami. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka (masyarakat setempat) bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum era Wali Songo.

KH Sahal Mahfud, seorang ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Bila asal mula tradisi Tahlil tersebut dikatakan merupakan adat orang hindu, maka sebaiknya kita berfikir bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasulullah saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasulullah saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka bersyukur atas selamatnya Musa as, dan Rasulullah saw bersabda : “Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)

Namun sayang beberapa dekade terakhir, majelis yang di muliakan oleh Allah SWT ini mendapat “serangan & pertentangan” dari kelompok yang memungkiri jaiz nya majelis ini dan mengakui bahwa Islam pada dirinya paling benar dengan KEDOK / DALIL PEMURNIAN TAUHID (Agama), maka Majelis Tahlil ini di CAP sebagai sebutan ritual Bid’ah dan sesat dengan berbagai macam alasan-alasan yang di buat-buat oleh kelompok orang-orang salafi untuk mencari kelemahan majelis yang mulia itu.

Di bawah ini beberapa alasan yang sering mereka sebutkan terkait Majelis TAHLIL / YASINAN & HAUL:

1. Ritual tersebut adalah perbuatan BID’AH karena Rasulullah SAW tak pernah mengajarkan atau mencontohkannya.

2. Hadist-hadist yang digunakan membolehkan membaca tahlil / Yasin bagi orang meninggal dunia adalah berasal dari hadist dhoif.

3. Taqlid buta (taqlid kepada orang / guru) tanpa mengetahui sumber hukumnya.

4. Pahala bagi orang yg telah meninggal dunia tak dapat bertambah / amalannya, telah putus kecuali 3 perkara: Ilmu yg bermanfaat, amal jariyah (sedeqah) dan doa dari anak sholeh. Sebagaimana yang Rasulullah saw. sabdakan: “Jika seorang manusia meninggal dunia terputuslah amalannya keculai dari tiga perkara: ‘Shadaqah jariyah, anak sholeh yang mendoakannya dan ilmu yang bermanfaat’.”

Doa dari kerabat dan saudara (muslimin) lainnya bagi sang mayit tertolak dengan berlandasakan firman Allah SWT di dalam surah An-Najm:39.

br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (An-Najm:39).

Itulah beberapa alasan yang lazim/biasa di gunakan oleh kelompok yang mengaku sebagai pembawa Pembaharu Islam yang lebih dikenal dengan nama salafi untuk menyerang majelis (perkumpulan) yang mulia itu. Dan karena kedangkalan dan lemahnya pemahaman ilmu mereka dan dengan mudah pula mereka menolak segala apa yang telah disyariatkan oleh agama dan diganti oleh mereka dengan label Bid’ah dan syirik dengan alasan yang dibuat buat oleh mereka. Persoalannya adalah, apakah benar bacaan Al-Qur’an dan doa bagi orang yang bertahlil akan sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah sebagai amal pahala ataukah bacaan (hadiah pahala) tersebut tidak berguna bagi mayit dan tidak diterima oleh Allah SWT sebagai pahala bagi mayit?

Last Updated on Sunday, 05 April 2009 06:38


Pengertian Selamatan atau Haul

Haul berasal dari bahasa arab : berarti telah lewat atau berarti tahun. masyarakat Jawa menyebutnya (khol/selametane wong mati) yaitu : suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga.

Ø Rangkaian Acara Selametan atau Haul

1.Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30).

Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.

Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.

2.Tahlilan

Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut :

Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323

3.Doa yang dihadiahkan kepada mayit.

Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama’ telah sepakat mengenai doa dan memohonkan ampunan untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini :

Artinya : Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah (Dan orang-orang yang datang setelah mereka *muhajirin dan anshar* berdoa : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang) QS. AL-HASYR AYAT 10. Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasul Allah saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdoa. Dan juga doa Rasulullah saw. Ya Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang mati kami (umat Nabi). Ulama’ salaf dan kholaf selalu mendoakan orang-orang mati dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya.

4.Pengajian umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani.

5.Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater) Hal ini berdasarkan kepada perintah Nabi yang berbunyi:

Rasulullah saw. bersabda : bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdoalah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah telah berjanji akan mengabulkan. (Di terangkan dalam kitab Durro an-Nasikhin, halaman 95).

Imam Nawawi menceritakan, bahwa Sedekah (shodaqoh) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama’, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi hurairah ra. : seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. : Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab : Ya, bisa. Keterangan Dalam kitab Peringatan Haul hal. 23-26.

Ø Dalil Haul

Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan utsman. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy.

Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.

Diterangkan dalam kitab Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin juz XIV hal.271, kitab Mukhtashor Ibnu Katsir juz 2 hal.279, dan dalam kitab Raddu al-Mukhtar ‘ala al-durri al-Mukhtar juz 1 hal 604.

Ø Hukum Selametan 1-7, 40, 100 hari dan Haul

Mengenahi hukum haul dan selamatan ulama’ berbeda pendapat, tetapi mayoritas ulama’ dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah mati (mayit). Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama mengenai hal ini (yang membolehkannya dan yang tidak memperbolehkannya) Adapun berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya akan kami terangkan di bawah ini;

A. Pendapat sahih yang memperbolehkan

1. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Abd. Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab hambali) dalam kitab Majmu’ Fatawa : XXIV/314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:

Artinya : Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit : haji, qurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam.

Dan lebih spesifik lagi beliau menjelaskan dalam hal sampainya hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa : XXIV/322 sebagai berikut ini

Artinya : “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

2.Menurut Imam Nawawi

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin ibn as-Syaraf, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.

“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini

“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan/ajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-umm) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya.

3.Menurut Imam Ibnu Qudamah

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.

Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

4.Menurut Fuqoha’ Ahlussunnah Wal Jama’ah

Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.

Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.

B. Pendapat yang tidak Memperbolehkan

1.Pendapat Ulama’ Madzab Syafi’i

Pendapat masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar hal 150.

Artinya : Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, sedang Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan sampai kepada mayit.

Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan doa : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan *mayit*)

2.Menurut pendapat Madzhab Imam Malik

Menurut pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ Fatawa juz XXIV hal.314-315,

Artinya : Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat :

-Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain

-Tidak sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan syafi’i.

Demikianlah beberapa pendapat ulama’ mengenai hukum selametan 1-7/40/100 hari/haul. Meskipun pendapatnya berbeda-beda mereka pun (para ulama’) saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut dan kesemuanya itu masing-masing memiliki tendensi atau dasar sendiri-sendiri.

Oleh karena itu marilah kita selalu berusaha meningkatkan profesionalisme kita, belajar bersikap lebih dewasa, dalam menyikapi setiap perbedaan kita harus saling menghargai dan menghormati, karena suatu perbedaan adalah rahmah bagi kita semuanya kalau kita pandai mengambil hikmah darinya, dalam kitab Hasiyah al-Bujairomi juz 9 hal 71. dijelaskan Perbedaan Ulama’ itu Adalah Rahmat

Dan ingatlah contoh tentang perbedaan pendapat yang langsung diberikan oleh pemilik jagat raya ini, lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82 juz 16 (kisah perbedaan pendapat antara Nabi Musa dengan Nabi khidzir), oleh karena itu marilah kita selalu menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan menghormati, dari situlah akan tercipta kehidupan harmoni dan perdamaian yang bersifat abadi. Amin.

Talqin Dalam Pandangan Imam Nawawi

PDF

Print

Written by Nurman Rosyidi

Friday, 17 July 2009 00:00

Talqin - Raudhatuth Tholibin. Amalan membaca talqin setelah mayat dikebumikan adalah satu amalan yang diterima sebagai sunnat atau mustahab dalam mazhab Syafi'i. Dan amalan ini telah diamalkan oleh umat Islam di Nusantara ini sejak awal kemasukan Islam lagi, tanpa ada yang mempertikaikannya atau menolaknya. Maka kenapa kini amalan sebegini dijadikan sasaran untuk menghukum orang lain sebagai pelaku bid'ah yang tidak mengikuti sunnah? Jika pun tidak mahu bertalqin, maka sewajarnya berlapang dadalah kerana ianya termasuk dalam bab khilafiyyah pada furu', di mana dalam mazhab Syafi'i ianya adalah sesuatu yang dihukumkan sebagai sunnat atau mustahab. Imam an-Nawawi rhm. menulis dalam kitab "Raudhatuth Tholibiin" seperti berikut (lihat gambar1):

... Dan mustahab hukumnya mentalqinkan mayyit setelah dikebumi. Maka dikatakan: "Wahai hamba Allah anak hamba perempuan Allah, ingatlah dengan apa yang atasnya engkau keluar meninggalkan dunia, iaitu penyaksian bahawa tiada tuhan selain Allah dan bahawasanya Nabi Muhammad pesuruh Allah. Sesungguhnya syurga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, hari kiamat pasti datang tanpa keraguan, dan Allah akan membangkitkan sesiapa sahaja dari kubur. Sesungguhnya engkau telah redha Allah sebagai Rab, Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi, al-Quran sebagai panutan, ka'bah sebagai qiblat dan kaum mukminin sebagai saudara". Telah warid dengannya hadits Junjungan Nabi s.a.w.

Selanjutnya Imam an-Nawawi meneruskan lagi (lihat gambar2):



Inilah talqin yang dihukumkan mustahab oleh perhimpunan daripada sahabat kami (yakni para ulama asy-Syafi'iyyah), antara mereka adalah al-Qadhi Husain, Shohibut Tatimmah, Syaikh Nashr al-Maqdisi dalam kitabnya "at-Tahdzib" dan selain mereka. Qadhi Husain telah menukilkan bahawa secara mutlak di sisi ulama Syafi'i, membaca talqin ini adalah mustahab . Dan adapun hadits yang datang mengenai hukum talqin ini adalah dhoif, akan tetapi hadits-hadits (dhoif) berkaitan keutamaan (fadhoil) adalah tidak mengapa untuk diamalkan di sisi ahli ilmu daripada kalangan muhadditsin dan selain mereka. Dan telah diperkukuhkan hadits mengenai talqin ini dengan kesaksian beberapa hadits yang shohih,

seperti hadits :
"Mohonlah kepada Allah baginya (yakni bagi si mati) akan ketetapan (yakni ketetapan dalam menjawab fitnah kubur),"

dan wasiat Sayyidina 'Amr bin al-'Aash:"Berdirilah kamu di sisi kuburku (walaupun hanya) selama kadar menyembelih seekor sembelihan dan membahagi-bahagi dagingnya, sehingga aku dapat merasakan ketenangan dengan kalian dan aku mengetahui dengan apa akan aku kembalikan utusan-utusan Tuhanku (yakni Munkar dan Nakir)", sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya. Sentiasalah penduduk Kota Syam beramal dengan amalan talqin ini sejak zaman permulaan Islam lagi, iaitu zaman di mana orang-orangnya dijadikan ikutan.


Maka berkata para sahabat kami (yakni ulama Syafi'i): " Dan duduklah orang yang membaca talqin itu di sisi kepala kuburan si mati, dan adapun anak kecil yang belum baligh dan seumpamanya, maka tidaklah ditalqinkan."

Oleh itu, janganlah memandang remeh urusan talqin mayyit setelah dikubur. Ianya adalah amalan yang punya dalil dan asas dalam Mazhab Syafi'i.

HAUL KE-7, 40, 100, DLL

Tanya : Sebelumnya saya biasa ikut memenuhi undangan tahlilan untuk peringatan meninggalnya seseorang. Seminggu yang lalu saya memperoleh undangan dari seorang guru agama untuk menghadiri haul almarhumah orang tuanya, tetapi sebelum memenuhi undangan tersebut saya memperoleh keterangan dari beberapa guru agama yang lain bahwa hal tersebut dilarang karena termasuk bid”ah.

Karena khawatir dan takut menyimpang dari ketentuan Allah swt., saya mohon kiranya dapat diberikan jawaban mengenai hal tersebut diatas secara lengkap berikut dalil-dalil dan rujukan-rujukan yang mendasarinya baik dari Al Qur’an, Sunnah Rasul, pendapat 4 mazhab dan juga para ahli agama termasuk juga pengasuh PV (pesantrenvirtual)

Jawab : Kebiasaan mengadakan haul — yang intinya hendak mengirim hadiah bacaan-bacaan al-Qur’an, tahlil, dan doa-doa kepada si mayit– dengan disesuaikan pada hitungan hari-hari tertentu mengandung dua substansi permasalahan. Pertama, sampai tidaknya ganjaran yang dihadiahkan kepada almarhum, dan kedua, menepatkan acara pada hitungan hari-hari tertentu, misal ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, dan mengulang tiap tahunnya, apakah seperti ini bid’ah?

Yang pertama, sampai tidaknya ganjaran yang dikirim kepada si mayit, sebagian besar ulama keempat mazhab (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah) berpendapat sampainya ganjaran bacaan-bacaan baik al-Qur’an, tahlil, dan doa-doa lainnya. Bahkan amal apa saja yang baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti bersedekah, infaq, dll, bila diniati ganjarannya untuk orang yang telah meninggal, ganjaran itu akan sampai dan bermanfaat buat si mayit.

Pendapat-pendapat itu didasarkan pada ayat-ayat dan hadis:

  1. Ayat ke 10 surat al-Hasyr.
  2. Ayat ke 19 surat Muhammad.
  3. Hadis “idzaa maata al-insaan inqatha’a ‘amaluhu illa min tsalaatsin, shadaqatin jaariyatin au ‘ilmin untafa’u bihii au waladin shaalihin yad’uu lahu” (Kematian seseorang menyebabkan terputusnya segala amal perbuatannya [tidak ada pengaruhnya pada dia] kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya) [HR. Muslim].
  4. Hadis “man zaara qabra waalidaihi faqara’a ‘indahu –au ‘indahumaa– yaasiin ghufira lahu” (Barang siapa menziarahi qubur kedua orang tuanya, lantas membacakan untuk keduanya surat Yasin, maka terampuni kedua orang tuanya” [HR. Ibnu 'Addiy].
  5. Hadis kisah seseorang yang tanya kepada Nabi : “kaana lii abawaani ubirruhumaa haala hayaatihimaa, fakaifa lii ubirruhumaa ba’da mautihimaa?” (Saat kedua orang tuaku masih hidup saya selalu memuliakannya, lantas bagaimana saya bisa berbuat baik/memulyakannya setelah wafatnya?). Dijawab oleh Nabi: “inna al-birr ba’da al-maut an tushalliya lahumaa ma’a shalaatika wa tashuuma lahumaa ma’a shiyaamika.” ([Kamu bisa] memulyakannya dengan menghadiahkan pahala salat-salatmu dan pahala puasa-puasamu) [HR. al-Daaruquthniy].
  6. Hadis “iqra’uu ‘alaa mautaakum yaasiin” (Bacakanlah untuk ahli qubur kalian surat Yasin” [HR. Abu Dawud].

Mengenai persoalan yang kedua, soal waktu, yakni kenapa ditepatkan pada hari ke-7, ke-40, dst, itu begini:

Mula-mula harus kita bahas dulu “apa itu bid’ah” secara istilah (terminologi). Definisi bid’ah yang paling terkenal di kalangan ulama adalah yang diberikan oleh Imam al-Syatibiy, yaitu “suatu tata cara di dalam agama yang diciptakan untuk menandingi (tata cara beribadah yang sesuai) syari’ah.

Untuk menguji apakah tahlilan pada hari-hari ke-7, ke-40, dst itu termasuk bid’ah atau tidak bisa melalui daftar pertanyaan-pertanyaan berikut:

apakah perbuatan menyesuaikan acara pengiriman bacaan Qur’an, tahlil, doa, dan lain-lain dengan hitungan hari tertentu itu termasuk rangkaian ibadah?” Ataukah itu hanya sekedar kebiasaan saja, jadi tidak termasuk rangkaian ritual ‘tahlilan’ itu sendiri? Atau lebih tepatnya: saat melaksanakan acara tahlilan itu adakah keyakinan “bahwa acara itu harus dilakukan pada hari-hari ke-7, ke-40, ke-100, dst, sehingga seandainya dilakukan di luar hari-hari itu menjadi tidak sah?

Menurut saya, penentuan pelaksanaan tahlilan pada hitungan hari-hari tertentu itu tidak termasuk bagian tak terpisahkan dari ritual tahlilan itu sendiri. Itu hanya berdasar kebiasaan saja, tidak bagian inhern dari ibadah pengiriman ganjaran bacaan dan doa, sehingga seandainya dilaksanakan di luar hari-hari itu tetap saja sah.

Orang-orang yang tahu, tetap berpendirian bahwa tindakan menyesuaikan acara tahlilan pada hari-hari tertentu itu tidak merupakan bagian atau suatu bentuk ibadah. Karena ibadahnya hanyalah tahlilannya itu sendiri. Jika demikian, maka tindakan menyesuaikan itu tentu tidak bisa dianggap sebagai bid’ah. Wallahua’lam. (Arif Hidayat, Dewan Asaatidz Pesantren Virtual)

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com/ Seri ke-24, Minggu, 22 Oktober 2000

Mustaha

Peringatan Haul para Pendahulu
17/06/2008

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW selalu berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud pada setiap tahun. Sesampainya di Uhud beliau memanjatkan doa sebagaimana dalam surat Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 24:

سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ


Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Inilah yang menjadi sandaran hukum Islam bagi pelaksanaan peringatan haul atau acara tahunan untuk mendoakan dan mengenang para ulama, sesepuh dan orang tua kita.

Diriwayatkan pula bahwa para sahabat pun melakukan apa yang telah dilakukan Rasulullah. Berikut ini adalah kutipan lengkap hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi:

وَ رَوَى الْبَيْهَقِي فِي الشَّعْبِ، عَنِ الْوَاقِدِي، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزُوْرُ الشُّهَدَاءَ بِأُحُدٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ. وَ إذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار


Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Wakidi mengenai kematian, bahwa Nabi SAW senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun alaikum bima shabartum fani’ma uqbad daar” –QS Ar-Ra’d: 24– Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Lanjutan riwayat:

ثُمَّ أبُوْ بَكْرٍ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ. وَ كاَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأتِيْهِ وَ تَدْعُوْ. وَ كاَنَ سَعْدُ ابْنِ أبِي وَقَّاصٍ يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ يَقْبَلُ عَلَى أصْحَابِهِ، فَيَقُوْلُ ألاَ تُسَلِّمُوْنَ عَلَى قَوْمٍ يَرُدُّوْنَ عَلَيْكُمْ بِالسَّلَامِ


Abu Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata, ”Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?”

Demikian dalam kitab Syarah Al-Ihya juz 10 pada fasal tentang ziarah kubur. Lalu dalam kitab Najhul Balaghah dan Kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah RA oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji dijelaskan bahwa hadits itu menjadi sandaran hukum bagi orang-orang Madinah untuk yang melakukan Ziarah Rajabiyah (ziarah tahunan setiap bulan Rajab) ke maka Sayidina Hamzah yang duitradisikan oleh keluarga Syeikh Junaid al-Masra’i karena ini pernah bermimpi dengan Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut.

Para ulama memberikan arahan yang baik tentang tata cara dan etika peringatan haul. Dalam al-Fatawa al-Kubra Ibnu Hajar mewanti-wanti, jangan sampai menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah wafat disertai dengan tangisan. Ibnu Abd Salam menambahkan, di antara cara berbela sungkawa yang diharamkan adalah memukul-mukul dada atau wajah, karena itu berarti berontak terhadap qadha yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Saat mengadakan peringatan haul dianjurkan untuk membacakan manaqib (biografi yang baik) dari orang yang wafat, untuk diteladani kebaikannya dan untuk berbaik sangka kepadanya. Ibnu Abd Salam mengatakan, pembacaan manaqib tersebut adalah bagian dari perbuatan taat kepada Allah SWT karena bisa menimbulkan kebaikan. Karena itu banyak para sahabat dan ulama yang melakukannya di sepanjang masa tanpa mengingkarinya.

Demikianlah. Dalam muktamar kedua Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah atau jam’iyyah tarekat-tarekat di lingkungan NU di Pekalongan Jawa Tengah pada 8 Jumadil Ula 1379 H bertepatan dengan 9 November 1959 M para kiai menganjurkan, sedikitnya ada tiga kebaikan yang bisa dilakukan pada arara peringatan haul:

1. Mengadakan ziarah kubur dan tahlil
2. Menyediakan makanan atau hidangan dengan niat sedekah dari almarhum.
3. Membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dan memberikan nasihat agama, antara lain dengan menceritakan kisah hidup dan kebaikan almarhum agar bisa diteladani.
(Sumber : KH Aziz Mashuri Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, mantan Ketua Umum Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI)
(Disarikan dari buku kumpulan hasil kesepakatan muktamar Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005)

HUKUMNYA BACA MANAQIB

Bagaimana hukumnya baca manaqib?

Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.

Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?

Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.

Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.

Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?

Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?

Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?

Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.

Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?

Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)

قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.

Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?

Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.

Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.

Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?

Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.

Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.

Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim

وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)

فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ

Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)

وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ

Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.

Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:

Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?

Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta (sumber KH. Bisri Mustofa)

Data Pesantren Terbaru

Jl. Abd. Rahman RT. 03 RW. 08 Kel. P. Pudu Duri, Riau, Telp: 076592565

Hukum Berdo'a dengan Tawassul

Cetak

E-mail

Ditulis oleh Dewan Asatidz

Pengertian Tawassul
Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.

• Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
• Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya da. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
• Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.

Tawassul dengan amal sholeh kita
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal 160)

Tawassul dengan orang sholeh
Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai amrtabat dan derajat tinggi dei depan Allah. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

Dalil-Dalil Tentang Tawassul
Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:

A. Dalil dari alqur’an.

1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :
ياأيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Suat Al-Isra', 57:

أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً

57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka [857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [857] Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.

2. Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).

قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

97. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilahبِمَا عَهِدَ عِندَكَDengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu (kenabian).
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.


4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

B. Dalil dari hadis.
a. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir

Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615)


"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu"

Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi :

فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615)


Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.

Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

b. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.

Diriwatyatkan oleh Imam Hakim :

عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير

فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه الحاكم فى المستدرك)


Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

c. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah meninggal.

Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :

عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)

Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung", maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk" (Riwayat Imam Darimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori :

عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )

Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.

d. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul .

عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).


Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu, maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu", maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya". (Riwayat Ibnu Majad dll.).

Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma'qool, akan tetap Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).


Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Alafkar 1/272).

Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).

Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul

Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu. Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyartakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.

Pandangan Ulama Madzhab

Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).

Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :"Syafii ibarat matahagi bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita"

(شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)


Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:

آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى
أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى
(العواصق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)

"Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku"

Pandangan Imam Taqyuddin Assubuky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)

Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :

أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه).


Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

Pandangan Imam Syaukani

Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain ( orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para shohabat.

Pandangan Muhammad Bin Abdul Wahab.


Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal 68)

Dalil-dalil yang melarang tawassul
Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut: tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara; tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.

2. Surah al-Baqarah, 186:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

2. 186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.

3. Surat Jin, ayat 18:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

72. 18. Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah.
Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara.

Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan hadist.

Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid'ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.

Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para para ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.
Wallahu a'lam bissowab

Penyusun:
Ustadz Agus Zainal Arifin, Hiroshima
Ustadz Muhammad Niam, Islamabad
Ustadz Ulin Niam Masruri, Islamabad

DAFTAR PUSTAKA

M. Nasrudin Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak.

Nurul Huda Net, H. Achmad Masduqi Machfudh, Malang, 10 Agustus

KH. Hasyim Asy’ari, al-Qânûn al-Asâsiy” Ahlussunnah wal Jama’ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997 . A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999

KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995)
HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljama’ah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979

KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976

KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljama’ah, Pengertian dan Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999)

KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),

Arland Net, PBNU

http://www.pesantrenvirtual.com/ Seri ke-24, Minggu, 22 Oktober 2000

Mustaha

http://nu.or.id/

KH Aziz Mashuri Disarikan dari buku kumpulan hasil kesepakatan muktamar Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005)

Tanya Jawab Agama Jilid 2 terbitan Suara Muhammadiyah Cetakan VI tahun 2003, halaman 53-54 dan Tanya Jawab Agama Jilid 4, Cetakan III halaman 82-89.

KH. Mudzoffar Fathurrohman Al-Lasemi, 'amaliyah ahlus sunnah wal jama'ah, penerbit Mukhtar bin Sya'roni Magelang

Nu ON LINE

eringatan haul (kata "haul" dari bahasa Arab, berarti setahun) adalah peringatan kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan utama untuk mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Biasanya, haul diadakan untuk para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh untuk sekedar mengingat dan meneladani jasa-jasa dan amal baik mereka.

Haul yang penting diadakan setiap setahun sekali dan tidak harus tepat pada tanggal tertentu alias tidak sakral sebagaimana kita memperingati hari ulang tahun. Hari dan tanggal pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang berhubungan acara-acara lain yang diselenggarakan bersamaan dengan peringatan haul itu.

Para keluarga mengadakan acara haul pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama keluarga, pada saat mereka mempunyai waktu senggang dan bisa berkumpul bersama. Di pesantren-pesantren, haul untuk para pendiri dan tokoh-tokoh yang berjasa terhadap perkembangan pesantren dan syi’ar Islam diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren, semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, atau dzikir akbar tahunan.

Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan: Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)

Hadits lain diriwayatkan oleh Al-Wakidi bahwa Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah, hlm. 394-396)

Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II hlm. 18 menjelaskan, para sahabat dan ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul sedianya diisi dengan menuturkan biorafi orang-orang yang alim dan saleh guna mendorong orang lain untuk meniru perbuatan mereka

Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. (A. Khoirul Anam)

*Kutipan hadits dan qoul ulama dalam tulisan ini diambil dari buku "Tradisi Orang-Orang NU" yang ditulis oleh H. Munawwir Abdul Fattah yang telah ditashhih oleh KH. A. Muhith Abdul Fattah, KH Maghfoer Utsman, dan KH. Masdar Farid Mas’udi, Diterbitkan oleh Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2006.

« Kembali ke arsip